Pengertian Tasawuf
Secara bahasa tasawuf diartikan
sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian
yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi)
dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.
Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni,
cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[rujukan?].
Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini
sudah tersebar ke seluruh belahan dunia (Wikipedia bahasa Indonesia). Ada
beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang
umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang
dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau
pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari
Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada
Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf
berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain
menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa"
("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang
beranda"), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad
yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya
untuk berdoa (Wikipedia bahasa Indonesia). Namun dalam perjalananya, tasawuf
diperdebatkan asal usul kehadiranya. Sebagian menyebut tasawuf berasal dari
agama islam, sebagian lagi menyatakan bahwa tyasawuf bukan berasal dari islam
tetapi dari sinkretisme berbagai ajaran agama samawi maupun ardi. Beberpa
pendapat yang menyatakan tasawuf berasal dari islam diantaranya:
Asal-usul ajaran sufi didasari
pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah
merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah
keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas
masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller,
1995)
Seorang
penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme
sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan
didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan.
Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari
Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo,
1374), I, 4.]
Beberapa
pendapat bahwa tasawuf bukan berasal dari islam diantaranya:
Sufisme berasal dari bahasa Arab
suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang
hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo
platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah
asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De
Woestijne). (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok
kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang
muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt),
manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali
bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).
Al Quran pada permulaan Islam
diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas
jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam
kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang
sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya
dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan
dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama
masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang
sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India
yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama
Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan
masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan
batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan
gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan
dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya.
Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya
ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India
perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar
Aceh).
Paham tasawuf terbentuk dari dua
unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak
awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang
bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya
paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung
unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham
Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien
Jaiz, 1980).
Tasawuf dan sufi berasal dari
kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat
dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal
hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut
Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri
ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka
baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu
dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah
pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam, dan juga dalam
sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala
di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini
diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan
zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’
bin Sulaimi, Lc)
Para ahli yang menolak tasawuf
sebagai bagian dari islam mengambil contoh kesalahan pemahaman tasawuf yaitu
Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu
dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang
dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam
penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS:
“...Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad; 72)”
Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat
dikatakan bersatu dalam sholat karena sholat adalah me-mi'rajkan ruh manusia
kepada Ruh Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka
kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada
tuntutan bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah
kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada
'penyatuan' yang lebih mendalam. Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan
juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang berarti
bersatunya antara hamba dan Tuhan (Wikipedia bahasa Indonesia).
Dasar-Dasar
Qur`ani Tasawuf
Para pengkaji tentang tasawuf
sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan
oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi'in.
Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur'an dan Hadis-hadis
Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari
kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri,
bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan
ampunan dari-Nya dan lain-lain.
Meskipun terjadi perbedaan makna
dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam.
Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam
kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur'an yang Artinya: “Barang siapa
yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya
dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
(Q.S Asy-Syuura [42] : 20).
Diantara nash-nash al-Qur'an yang
mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat
adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20 yang Artinya: “Ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Ayat ini menandaskan bahwa
kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari
amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat
kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya
hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal
yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga
dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi
semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya
seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di
sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan,
sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari
hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat al-Qur'an lainnya yang
dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan
kewajiban seorang mu'min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya
kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai
tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan hal
tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat
–ayat tersebut yaitu firman Allah dalam Q.S ath-Thalaq [65] ayat : 3 yang
Artinya: “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya.
Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Dianatra ayat-ayat al-Qur'an yang
menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah
ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap
kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah [ ] ayat : 16
yang berbunyi : yang Artinya: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan
mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap
Maksud dari perkataan Allah Swt :
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya" adalah bahwa mereka tidak
tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”. Terdapat
banyak ayat yang berbicara tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya
kepada Allah semata akan tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu.Diantara
ayat-ayat yang menjadi landasan tasawuf adalah nash-nash Qura'ny yang
menganjurkan untuk beribadah pada malam hari baik dalam bentuk bertasbih
ataupun quyamullail diantaranya adalah firman Allah yang Artinya: Dan pada
sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang
Terpuji.(Q.S al-Isra' [17] ayat : 79 yang Artinya: “Dan sebutlah nama Tuhanmu
pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah
kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari”.
(Q.S al-Insan [76] ayat : 25-26) yang Artinya: “Dan orang yang melalui malam
hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” Tiga ayat di atas
menunjukkan bahwa mereka yang senantiasa menjauhi tempat tidur di malam hari
dengan menyibukkan diri dalam bertasbih dan menghidupkan malam-malamnya dengan
shalat dan ibadah-ibadah sunnah lainnya hanya semata-mata untuk mengharapkan
rahmat, ampunan, ridha, dan cinta Tuhannya kepadanya akan mendapatkan maqam
tertinggi di sisi Allah. Selain daripada hal-hal yang telah penulis uraikan
sbelumnya, diantara pokok-pokok ajaran tasawuf adalah mencintai Allah dengan
penuh ketulusan dan keikhlasan hal ini berlandaskan kepada firman Allah swt
dalam Q.S at-Taubah ayat : 24 yang Artinya: ”Katakanlah: "Jika bapa-bapa,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal
yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari
berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
Keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik”.
Ayat ini menunjukkan bahwa
kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya harus menjadi
prioritas utama di atas segala hal, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya
harus melebihi di atas kecintaan kepada ayah, ibu, anak, istri, keluarga,
harta, perniagaan dan segala hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain
bahwa seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan
mendambakan tempat terbaik diakhirat hendaknya menjadikan Allah dan Rasul-Nya
sebagai kecintaan tertinggi dalam dirinya (ibnuel-mubhar.blogspot.com).
Perkembangan
Tasawuf
Sejarah tasawuf dimulai dengan
Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn
Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam
Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal. Ucapan –
ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh
Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di
kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam
Ja’far. Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat,
seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun
yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far. Kakek buyut Imam
Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit
untuk dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama
sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal
dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang
berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”.
Tasawuf lahir dan berkembang
sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri,
Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf
tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll). Praktik
– praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu
Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang
disebutkan di atas.
Pertumbuhan
dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa
tahap :
Tahap
Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf
dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H. Gerakan zuhud
pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke Khurasan
dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya hidup mewah para pembesar
negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami
perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.
Tokoh-tokohnya
menurut tempat perkembangannya :
1. Madinah
Dari kalangan sahabat Nabi
Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H);
Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari
kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn
Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
2. Basrah
Hasan Al Bashri (w. 110 H); Malik
ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais (w. 149
H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)
3. Kufah
Al Rabi ibn Khasim (w. 96 H);
Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106 H); Sufyan Al Tsauri (w.161
H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H).
4. Mesir
Salim ibn Attar Al Tajibi (W.
75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar
(w. 171 H). Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang dikenal
sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail ibn
Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah.
Tahap
Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H )
Paruh pertama pada abad ke-3 H,
wacana tentang Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi
terbatas pada amaliyah (aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah
masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan
terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah,
tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain. Tokoh-tokohnya,
Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al
Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al Baghdadi.
Muncul pula karya-karya tulis
yang membahas tasawuf secara teoritis, termasuk karya Al Harits ibn Asad Al
Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz (w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w.
285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H) Pada masa tahap tasawuf, muncul para
sufi yang mempromosikan tasawuf yang berorientasi pada “kemabukan” (sukr),
antara lain Al Hallaj dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan –
ungkapam ganjil yang sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar
keyakinan umum kaum muslim, seperti “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak
ada apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fill jubbah
illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar dengan
ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”.
Tahap
Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)
Pada tahap ini, tasawuf falsafi
merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara
rasional-filosofis. Ibn Arabi merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga
Al Qunawi, muridnya. Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid
Al Busthami dalam aliran ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân
(Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis)
tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
Tahap
Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya )
Meskipun
tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat Junaidiyyah yang
didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang
didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa ini
tarekat berkembang dengan pesat. Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh
Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat
Rifa’iyyah didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah
yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah
yang memiliki pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak
variasi , pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi
Al Bukhari Naqsyab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar